Friday, January 16, 2009

Proses Mutasi

Kalo membaca detikcom tentang guru yang suka menyumpahi orang dan tidak bisa dimutasi, bukan cuma instansi pemerintah saja yang kesulitan melakukan proses mutasi.

Organisasi perusahaan pun bisa mengalami hal yang sama tentang proses mutasi ini.

Di dalam requisite organization, dikenal istilah de-selection dimana atasan bisa memulai langkah-langkah yang diperlukan untuk tidak memilih anak buahnya di dalam tim. Proses ini bisa disebabkan oleh berbagai hal yaitu:

- Kapabilitas dalam thinking process

- Skilled Knowledge (agak susah artinya dalam bahasa indonesia)

- Value dan Motivasi dalam bekerja

- Perilaku yang dipersyaratkan dalam bekerja (Requisite Behavior)

yang tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan.

Kalo kita membaca cerita tentang guru seperti yang diberitakan detikcom, maka kesimpulan saya terjadi perilaku yang tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan.

Proses deseleksi ini bisa memicu treatment HR mulai dari coaching, mentoring, mutasi, demosi sampai dengan pemecatan. Meskipun rasio umum menganggap bahwa kasus ini sudah layak untuk dimutasi bahkan mungkin untuk diterminasi, tetapi hal ini belum bisa dijadikan sebagai dasar hukum dalam proses pemecatan karyawan. Karena UU 13 tentang ketenagakerjaan belum memasukkan unsur perilaku yang menyimpang sebagai alasan pemecatan (misal mencuri properti perusahaan).

Karena dasar hukum proses deseleksi ini kurang kuat, maka perusahaan bisa terjebak untuk tetap mempekerjakan karyawan yang berperilaku menyimpang. Yang akan terkena dampaknya adalah atasan (dalam kasus ini kepala sekolah) yang harus memasrahkan kondisi memiliki anak buah seperti ini disamping menghadapi iklim bekerja yang tidak nyaman di antara anak buahnya yang lain (baca cerita lainnya untuk guru yang sama).

Tetapi masih ada cara lain bagi perusahaan untuk menanggulangi kasus ini dengan memasukkan empat komponen requisite di atas ke dalam Peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Selain itu dijelaskan juga sanksi yang bisa diterapkan kepada karyawan. Sehingga, perusahaan bisa menghindari jebakan proses deseleksi yang tanpa akhir dan juga menghindarkan atasan dalam membangun hubungan kerja yang harmonis antara atasan bawahan dan juga di antara anak buah. WD

Wednesday, January 14, 2009

Hierarki Gubernur - Bupati

Di kompas tanggal 15 januari, Gubernur Jabar Keluhkan Hierarki. Sepertinya pak Gubernur masih menganggap bahwa Bupati/ Walikota adalah anak buahnya.

”Bupati/wali kota bisa dengan mudah menolak kebijakan pusat karena memang tidak ada hierarki yang jelas, yang menunjukkan bahwa mereka juga adalah perwakilan pemerintah pusat di daerah,” papar Heryawan.

Karena Gubernur bukan atasannya, maka Bupati/ walikota tidak perlu selalu mengikuti kebijakan pusat (propinsi?). Hal ini karena:

- Bupati/Walikota tidak dipilih oleh Gubernur

- Kinerja Bupati/ Walikota tidak ditentukan oleh Gubernur

- Gubernur tidak bisa memindahkan atau menurunkan Bupati/Walikota bila kinerjanya jelek (bahkan kalo kinerjanya jelekpun masih ada kesempatan bertahan selama 5 tahun)

Jabatan-jabatan politis seperti ini tidak termasuk dalam Managerial Hierarki seperti yang disebutkan oleh Elliot Jaques. Terutama sekali karena akuntabilitas atasan tidak berlaku disini

Akuntabilitas atasan yang diharapkan terjadi:

- Manajerial 2 arah atasan dan bawahan

- Memberikan konteks pekerjaan

- Perencanaan

- Pemberian tugas

- Penilaian efektivitas kinerja

- Coaching bila kinerjanya turun

- Proses deseleksi dan dismissal

- Perbaikan proses dan system terus menerus (Continuous Improvement)

Dan jelas ini tidak dimiliki oleh Gubernur terhadap Bupati/ Walikota.

Hubungan yang bisa terjadi adalah hubungan koordinasi antara keduanya. Dan dalam hubungan ini, tidak ada kewajiban bagi Bupati/ Walikota yang diajak berkoordinasi untuk mengikuti anjurannya dengan kata lain, menolak is fine-fine aja.

Jadi siapa atasan Bupati/ Walikota sesungguhnya? Rakyat, yang akan menghukum 5 tahun kemudian dengan tidak memilih bila program-programnya gagal. WD

Monday, December 8, 2008

Peran Atasan pada Corporate Culture

Sebagai praktisi HR, saya akan bertanya bagaimana agar budaya perusahaan mendarah daging di semua atasan tanpa paksaan. Karena pada kenyataannya, karyawan akan melakukan apa yang menjadi perintah atasannya dan perintah atasan sama dengan perintah perusahaan.
Salah satu tugas atasan yang paling kritikal adalah melakukan transfer value kepada anak buahnya, paling tidak:
- memberitahu mengapa sesuatu penting
- memberitahu mengapa sesuatu itu dilakukan
- memberitahu mengapa sesuatu itu diyakini bakal memberi hasil
Termasuk untuk meneruskan tentang corporate culture dan value kepada karyawan.

Saturday, September 27, 2008